Sabtu, 20 September 2008

Pornografi

Pada saat pemerintah harus mengatur moralitas, itulah saat dimana pemerintahan kita menjadi pemerintahan Teokratis. Itulah saat dimana pemerintah ingin menggantikan Tuhan dalam menghakimi manusia dalam moralitas.

Para pembuat hukum sebaiknya bertanya dahulu sebelum mengeluarkan hukum: dalam hal apakah khayalak umum dirugikan? Apakah ada yang terbunuh? Terluka? Dirugikan? Kehilangan haknya?

Dalam kasus pornografi, yang penting adalah: bagaimana caranya melindungi anak² dibawah umur dari pornografi, dan bagaimana agar tidak ada pihak yang dirugikan atau agar tidak ada unsur pemaksaan dimana hak individu dirampas. Termasuk dalam ini adalah apa yang boleh ditayangkan dalam televisi?

Apabila pemerintah dan anggota legislatif Indonesia khawatir pornografi dapat merusak moralitas bangsa dan mungkin bisa meningkatkan kejahatan seks, saya sarankan untuk lebih fokus pada pendidikan agar rakyat lebih bisa menggunakan akal sehat untuk tidak melakukan kejahatan, karena seks adalah kebutuhan biologis yang sulit dipungkiri.

Sebenarnya, kalau memang pornografi mau diberantas, cobalah publikasi Pos Kota dan Lampu Merah diberhentikan dulu. Dan artinya, hilangkanlah dulu hak untuk mengeluarkan pendapat.

Sosialisme dan Kapitalisme (1)

Belakangan ini kita mendengar berita dari Amerika Serikat bahwa raksasa finansial berguguran. Tak urung Federal Reserve dan menteri keuangan mengeluarkan biaya ratusan milyar dolar untuk mengambil alih perusahaan² tersebut untuk melindungi pemegang polis asuransi dan pemegang produk finansial institusi tersebut. Tentu saja politisi² Amerika Serikat dengan cepat mengingatkan bahwa uang tersebut jangan sampai menjadi pembagian uang dari pembayar pajak kepada manajer perusahaan² tersebut yang dengan serakah mengambil risiko yang tidak mereka mengerti. Tetapi tentu saja, dalam prakteknya tidak mudah untuk memastikan keadilan akan terjadi.

Inilah ironinya. Pada saat pendidikan dan kesehatan dibicarakan, sosialisme dikatakan sebagai sesuatu yang buruk dan jahat. Bahkan banyak rakyat Amerika yang menganggap sosialisme dan komunisme adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dan harus dibasmi. Tetapi pada saat raksasa finansial berguguran, pemerintah langsung mengeluarkan kebijakan sosialis untuk menyelamatkan investor dan pasar, dan orang yang dulunya mengkritik segala bentuk sosialisme bertepuk tangan dalam intervensi ini.

Kita di Indonesia mengalami getirnya saat bank-bank berguguran. Pada tahun 1997 dan 1998, datang IMF dengan bantuan bersyaratnya. Para petinggi IMF meyakinkan pemerintah bahwa pasar bebas harus berfungsi agar Indoensia bisa keluar dari krisis. Institusi keuangan harus dibiarkan mati apabila tidak bisa berfungsi lagi. Segala macam hambatan terhadap perdagangan bebas harus dihilangkan. Nilai tukar Rupiah harus dibebaskan. Akibatnya, pertama kali bank-bank ditutup dengan jaminan pemerintah 20 juta per deposito- hasil dari nasihat IMF, seluruh sistim perbankan Indonesia hancur karena tidak ada kepercayaan terhadap institusi keuangan di Indonesia. Barulah setelah beberapa saat pemerintah Indonesia menjamin nilai deposito: sedikit terlambat karena kepercayaan bukan sesuatu yang bisa didapat sesaat.

Kontras dengan kebijakan pemerintah Malaysia saat itu yang menolak bantuan IMF dan melakukan intervensi terhadap keuangan Malaysia. Akhirnya Malaysia bisa keluar dari krisis keuangan secara relatif utuh. Saat itu IMF mengkritik pemerintahan Malaysia yang menolak nasihat IMF. Tapi sekarang, nyatanya $85 milyar untuk AIG lebih mirip dengan tindakan pemerintahan Malaysia daripada pemerintahan Indonesia.

Jadi apakah tindakan pemerintah Amerika Serikat yang anti nasihat IMF sudah benar? Sejujurnya saya tidak tahu jawabannya saat ini. Tapi yang pasti, ada saatnya laissez faire tidak selalu bekerja di ekonomi jaman sekarang yang kompleks.

Ini bukan berarti saya anti-kapitalisme dan pasar bebas. Menurut saya, kapitalisme tetap adalah sistim terbaik untuk penciptaan kekayaan dan nilai tambah. Tetapi pemerintah mempunyai fungsi yang tidak bisa atau tidak seharusnya dilepaskan kepada kekuatan pasar - keamanan, infrastruktur, hukum, dan lain-lainnya.